BUKAN SEKEDAR SOAL ULAR & MERPATI
BUKAN SEKEDAR SOAL ULAR & MERPATI: MENGANGKAT KEMBALI SUARA KENABIAN YANG TERBUNGKA
POSISI
demografis orang Kristen sebagai minoritas di Indonesia, seringkali merupakan
pembenaran (justifikasi) untuk tidak bersuara vokal menghadapi pelanggaran
hak-hak asasi manusia di Indonesia. Suara orang Kristen, khususnya suara para
politisi Kristen, seringkali hanya disalurkan secara berbisik-bisik di balik
layar, ke lembaga-lembaga kekuasaan, baik yang sipil maupun militer.
Nats yang seringkali dijadikan pembenaran
sikap tidak berani menunjukkan batang hidung itu adalah Matius 10: 16 yang
berbunyi: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,
sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Cerdik
seperti ular dan tulus seperti merpati.
Keminoritasan orang Kristen juga seringkali
menghambat pengembangan sikap kritis – kalau perlu, oposisi -- terhadap
kebijakan dan program pemerintah dan pebisnis yang kurang menghargai hak-hak
asasi manusia (HAM).
Kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah,
bahkan terhadap rezim-rezim yang korup dan represif, termasuk terhadap
kediktatoran Soeharto, telah ditopang oleh nats lain, yakni Roma 13, atau Pasal
13 dari Surat Rasul Paulus pada Jemaat di Roma, khususnya ayat pertama dan
kedua. Ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap
orang harus takluk pada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah,
yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan
oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan
Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya”.
Nats tersebut, dipandang sungguh ‘sakti’,
tidak cuma oleh para rohaniwan yang ingin mencegah jemaatnya beroposisi melawan
pemerintah, tapi juga oleh aparat pemerintah itu sendiri. Di Papua Barat,
militer Indonesia pernah mencetak beribu-ribu pamflet berisi ayat-ayat Roma 13
itu, yang disebarkan dari udara dengan helikopter di daerah-daerah yang diduga
merupakan basis Organisasi Papua Merdeka, atau OPM.
Lantas, bagaimana kalau kita harus berkompromi
antara kemauan pemerintah dan petunjuk gereja, yang tidak selalu sejalan?
Misalnya, di era pemerintahan Soeharto, pegawai negeri dan anggota ABRI
diwajibkan memilih Golkar, sementara gereja-gereja menganjurkan umat atau
jemaatnya memilih berdasarkan hati nurani. Atau, di lingkungan Gereja Katolik
Sri Paus menganjurkan umatnya untuk hanya menjalankan pantang berkala,
sementara pemerintah menganjurkan penggunaan alat-alat kontrasepsi yang 1001
macam untuk pencegah kehamilan.
Dalam situasi dilematis begini, sudah ada nats
lain yang siap sedia dipakai sebagai justifikasi moral, yakni Matius 22: 20-21.
Untuk menangkis jebakan kaum Farisi, yang ingin Yesus mengeluarkan kata-kata di
depan umum yang dapat ditafsirkan sebagai pembangkangan terhadap penjajah
Romawi, Yesus mengambil sekeping mata uang Romawi yang dipakai oleh orang
Yahudi untuk membayar pajak kepada penjajahnya. Ia bertanya kepada orang-orang
Farisi yang ingin menjebaknya: “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Setelah
mereka menegaskan bahwa itu adalah gambar dan tulisan Kaisar Romawi, Yesus
berfirman:
“Berikanlah
kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah”.
BEDA KONTEKS HISTORIS PERJANJIAN LAMA & PERJANJIAN BARU
Secara obyektif dapat dikatakan bahwa
Perjanjian Lama lebih menyajikan
landasan teologis untuk pengembangan sikap kritis bagi orang Kristen untuk
menyoroti hal-hal yang menyangkut urusan kekuasaan dan pemerintahan, ketimbang
Perjanjian Baru. Pendek kata, landasan teologis untuk berpolitik.
Seperti yang dikemukakan oleh seorang sahabat
saya, Pendeta Jacky Manuputty dari Gereja Protestan Maluku, Perjanjian Lama
jauh lebih banyak berbicara tentang konsep pemerintahan dan kekuasaan, karena
status Israel (Utara) dan Israel Selatan (Yehuda) masih sebagai
kerajaan-kerajaan yang berdaulat penuh.
Kesaksian nabi Yeremia, Hosea, dan Amos sangat
keras terhadap pemerintah di Israel dan Yehuda. Fokus mereka adalah ketimpangan
social di tengah-tengah kejayaan kerajaan-kerajaan Israel dan Yehuda. Ibadah
Israel pun dikritik habis-habisan, sebab hanya mementingkan ritus.
Nabi Habakuk sudah mewartakan kehancuran
Yehuda oleh serangan kerajaan Babel, sebagai hukuman Tuhan atas Israel yang
murtad. Saat itu Yoyakim mulai menjadi raja di Yehuda, dan kondisi kerajaan
saat itu seperti digambarkan di awal kitab Yeremia. Babel waktu itu dipimpin
oleh Raja Nebukadnezar. Pada tahun ketiga pemerintahan Yoyakim, pasukan
Nebukadnezar mengepung kota Yerusalem, Yehuda ditaklukkan, dan banyak orang
Yehuda dibuang ke Babel. Termasuk seseorang yang kemudian menjadi nabi pengecam
raja Nebukadnezar dan anaknya, Darius.
Nabi itu adalah Daniel, yang kesaksiannya juga
menggambarkan ketegaran seorang tua untuk menantang kepongahan para raja,
walaupun ia harus menghadapi risiko dibuang ke gua singa. Nubuatan Daniel
tentang kejatuhan Nebukadnezar memang terwujud, yang kemudian diingat oleh
anaknya, Darius.
Berbeda dengan Perjanjian Lama, Perjanjian
Baru ditulis setelah Israel menjadi koloni Romawi. Herodes hanyalah raja
boneka, sebab kekuasaan sesungguhnya ada di tangan Pilatus sebagai wali negeri,
mewakili Kaisar di Roma. Sikap yang sepintas lalu sangat diplomatis dari keempat
penulis Injil maupun para rasul di bagian kedua Perjanjian Baru, ada latar
belakangnya.
Di masa kehidupan Yesus, menurut Pdt. Jacky
Manuputty, ada gerakan aliran keras dari orang-orang Yahudi yang ingin
memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Romawi, dipimpin oleh Simon Zelot
dan Judas Makabeus. Faksi ini berkeras mendesak Yesus untuk memimpin
pemberontakan melawan Roma, tetapi ditolak. Ini kemudian merupakan salah satu
alasan, mengapa orang Yahudi memusuhi Yesus.
Dengan kata lain, para penulis Perjanjian Baru
harus mengayuh biduk penginjilan mereka di antara dua batu karang yang
berbahaya, yakni rezim kolonial Romawi dengan orang-orang Yahudi antek mereka,
seperti Saulus sebelum bertobat dan menjadi Paulus, dan gerakan anti-kolonialis
Romawi pimpinan Zelot dan Makabeus.
Kendati demikian, toh ada juga nats dalam PB
yang agak radikal. Salah satu nats yang sering dijadikan landasan teologis
untuk mendorong keterlibatan politis gereja dan orang-orang Kristen adalah
Lukas 4: 18-19. Kutipan dari kitab nabi Yesaya itu dibacakan oleh Yesus, ketika
Ia datang ke Nasaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaanNya pada hari
Sabat masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri dan membacakan nats dari kitab nabi
Yesaya itu, yang berbunyi sebagai berikut:
“Roh
Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang”.
LATAR
BELAKANG PEMBUNGKAMAN SUARA
KENABIAN GEREJA-GEREJA DI
INDONESIA
DARI nats Injil tadi dapat disimpulkan, bahwa
seperti halnya para nabi di era Perjanjian Lama, yang digarisbawahi oleh Yesus
sendiri, gereja sebagai penubuhan umat Allah di bumi sesungguhnya juga harus
menjalankan fungsi kenabian. Tetapi mengapa itu jarang sekali terjadi? Mengapa
suara kenabian gereja-gereja baru terdengar, apabila hak-hak asasinya yang
eksklusif dilanggar? Artinya, apabila hak beribadah – termasuk hak untuk
mendirikan rumah ibadah – digerogoti oleh lingkungan tetangganya? Atau, apabila
konflik antar komunitas di suatu daerah menelan korban jiwa dan korban materi
di antara orang-orang Kristen?
Secara umum dapat dikatakan bahwa
gereja-gereja Kristen di Indonesia dari berbagai denominasi (Katolik,
Protestan, maupun Pantekosta) menderita ‘kompleks minoritas’. Bahkan kompleks
minoritas ganda, karena kedudukan banyak orang Kristen dalam masyarakat Indonesia
menjadi minoritas dalam satu, dua, atau bahkan tiga atau empat makna.
Pertama, minoritas dalam arti demografis.
Kedua, banyak penganut agama Kristen merupakan minoritas dalam arti etnisitas
dan ras. Ketiga, tidak sedikit di antara mereka merupakan minoritas dalam arti
kekuatan ekonomi. Akhirnya, selama dua dasawarsa pertama rezim Soeharto, kelas
menengah yang berasal dari kalangan Kristen juga menjadi minoritas dalam arti
kekuatan politik.
Minoritas dalam arti demografis, etnis dan
rasial sudah sama-sama kita maklumi. Di kota-kota besar di Jawa, Sumatra, dan
juga Sulawesi, kelompok atau lapisan minoritas ini tidak termasuk lapisan
sosial yang miskin, melainkan termasuk kelas menengah dan atas dari sudut
kemampuan ekonomi. Ini tidak berarti bahwa tidak banyak orang Kristen yang
miskin. Pergi saja ke pedalaman Daerah Istimewa Yogya (DIY), Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, atau di pedalaman Tana Poso dan Morowali di Sulawesi
Tengah.
Namun suara orang Kristen yang miskin tidak
banyak didengar oleh mereka yang secara kelembagaan dianggap mewakili aspirasi
orang Kristen dalam sistem politik Indonesia di masa-masa yang lalu.
Representasi etno-religius pun, misalnya mengangkat orang Flores atau orang
Jawa ke panggung politik, tidak otomatis berarti bahwa aspirasi penduduk Flores
yang miskin atau penduduk kawasan Gunung Kidul yang miskin sudah terwakili.
Sejarah juga sudah mencatat bagaimana politisi
dan birokrat yang beragama Kristen pun jarang menyalurkan aspirasi umat Kristen
yang miskin ke dalam lingkaran-lingkaran pengambilan keputusan. Atau, kalaupun
ada usaha-usaha ke arah itu, tidak kelihatan hasilnya. Tapi sebaliknya,
figur-figur sipil yang seringkali dianggap mewakili aspirasi umat Kristen –
seperti Frans Seda yang Katolik dan Radius Prawiro yang Protestan – berhasil
membangun bisnis keluarga mereka yang cukup mendingan. Bahkan dalam kasus
kelompok Lumbung Sumber Rejeki, perusahaan keluarga Radius Prawiro ini cukup
berjaya berkat perkongsian mereka dengan bisnis keluarga Soeharto dan BJ
Habibie.
Kompleks minoritas berlapis tiga ini
(etno-religius, sosial-ekonomi, dan representasi politis), yang sangat
mendominasi lembaga-lembaga formal Kristiani di Indonesia, ikut membungkam
suara kenabian yang semestinya dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang seringkali
diharapkan – atau paling tidak, dianggap – mewakili suara umat Kristiani di
Indonesia. Walhasil, umat berulangkali dicekoki anjuran supaya mereka ‘cerdik
seperti ular, tulus seperti merpati’, tanpa diskusi yang lebih mendalam lagi.
MENGEMBALIKAN SUARA
KENABIAN YANG TERBUNGKAM
Indikator kehebatan suatu kelompok minoritas
seringkali dilihat dari banyaknya orang dari kelompok itu yang duduk di
lembaga-lembaga pemerintah. Atau, dominasi orang-orang dari kelompok minoritas
itu dalam sistem ekonomi. Cara berfikir demikianlah yang, menurut hemat saya,
yang harus dibalik.
Ukuran kekristenan kita harus dapat dilihat
dari seberapa seriusnya kita menyuarakan aspirasi kaum miskin, orang-orang yang
tertindas, serta mereka yang buta dan tidak bersuara. Untuk itu, sebagai
landasan teologis kita saya ingin mengusulkan enam hal sebagai berikut.
Pertama, perlu re-interpretasi terhadap nats
Matius 10: 16. Apa atau siapa yang dimaksudkan dengan “kawanan serigala” ke
tengah-tengah mana orang Kristen diutus? Yang Tuhan maksudkan itu adalah
orang-orang yang beriman lain? Ataukah kekuatan-kekuatan social, politik dan
ekonomi yang menghalangi pengembangan potensi kemanusiaan kita secara maksimal
dan total? Lalu, apa pula yang dimaksudkan dengan ungkapan “cerdik seperti ular”
dan “tulus seperti merpati”?
Kedua, perlu re-interpretasi terhadap nats
Matius 22: 21. Apa yang dimaksudkan dengan pembedaan antara “hak Kaisar”, yang
di masa kini perlu diartikan kembali menjadi “hak Negara”, dan “hak Tuhan”?
Saya pribadi menafsirkan nats itu sekedar sebagai usaha desakralisasi fungsi
dan kedudukan Kaisar sebagai Kepala Negara, yang di zaman Romawi dianggap
sebagai penjelmaan Dewa-Dewa.
Ketiga, perlu re-interpretasi terhadap seluruh
pengertian Roma 13, yang boleh saja hanya merupakan kompromi Rasul Paulus,
seorang Yahudi yang juga warganegara Romawi, untuk menciptakan ruang gerak bagi
umat Kristen awal di tengah-tengah belahan dunia yang sedang dikuasai oleh
kekaisaran Romawi.
Keempat, perlu popularisasi teladan Yohanes
Pembaptis, yang tanpa tedeng aling-aling berani mengecam perselingkuhan antara
Raja Herodes dengan Herodias, isteri Filipus, saudaranya. Sikap kenabian
saudara sepupu Yesus ini akhirnya menyebabkan dia kehilangan nyawanya.
Kelima, master piece dari seluruh Injil, menurut hemat saya,
adalah khotbah di bukit (Matius 5-7), bukan hanya karena meletakkan dasar-dasar
iman Kristiani, tapi juga karena sekaligus memberikan wanti-wanti bahwa sikap
demikian akan dianggap melawan arus dan dapat membawa konsekuensi yang kurang nyaman
bagi mereka yang menghayati iman Kristiani itu.
Khotbah di atas bukit itu, menurut hemat saya
lagi, perlu dipopulerkan kembali senafas dengan kriteria penghakiman terakhir
(Matius 25: 31-46), di mana ditegaskan bahwa semua yang dilakukan untuk salah
seorang yang dianggap paling hina di antara sesama manusia telah dilakukan
untuk Tuhan. Berbagai kategori manusia masuk di situ, seperti orang lapar,
orang haus, orang telanjang, orang sakit, orang asing, orang di penjara.
Konkritnya, dari mereka yang kekurangan kebutuhan fisik minimum (KFM) sampai
dengan mereka yang kehilangan kebebasannya.
Keenam, seluruh drama penyaliban perlu
ditelaah kembali sebagai suatu drama politik, yang dapat menjadi sumber
inspirasi untuk menelaah drama-drama politik yang ikut menentukan nasib umat
Kristen di Indonesia. Soalnya, karakter-karakter yang terlibat dalam drama
penyaliban itu sangat manusiawi, dan dapat kita temukan dalam drama-drama
politik masa kini di Indonesia. Ada figur Yudas Iskariot yang saking kecewanya
atas penolakan Yesus untuk menjadi pemimpin gerakan anti-penjajahan Romawi
bersedia menjual gurunya untuk jumlah uang yang tidak seberapa. Ini pernah
dikemukakan oleh Pdt. Irianto Kongkoli dalam salah satu khotbahnya di Jemaat
Musafir GKST di Palu.
Ada penguasa agama -- imam-imam besar Yahudi
-- yang dengan liciknya mengeksploitasi kesetiaan Pilatus terhadap Kaisar Roma,
untuk menyingkir seseorang yang mereka anggap dapat mengganggu hegemoni mereka
sebagai penguasa spiritual orang Yahudi. Untuk itu, mereka bahkan rela menukar
Yesus dengan seorang penyamun, Barnabas.
Sikap penguasa politik di Roma saat itu juga
tidak terlalu asing dalam kemelut-kemelut politik masa kini. Pontius Pilatus,
wakil Kaisar Roma yang sambil berusaha mencuci tangan dari darah seseorang yang
dianggapnya tidak bersalah, berusaha menohok para tokoh Farisi dengan tetap
memberikan label “Raja Orang Yahudi” di atas salib Yesus. Ataukah itu merupakan
sindiran Pilatus pada Herodes, yang mungkin hanya dianggapnya sebagai “raja
boneka”? Sementara Yesus dianggapnya sebagai raja orang Yahudi yang
sesungguhnya, yang memang harus dibunuh oleh Pilatus – dengan meminjam tangan
orang Yahudi pula -- demi kesetiaannya pada Roma?
Di samping aktor-aktor utama dalam drama
penyaliban itu, banyak juga aktor figuran yang tidak kalah manusiawinya. Ada
Simon dari Kirene, yang pada awalnya hanya karena terpaksa membantu memikul
salib Yesus, tapi kemudian dengan penuh keyakinan pada sang Penebus mengikuti
seluruh prosesi itu sampai saat Yesus melepas nyawanya. Ada dua orang penyamun
yang disalibkan di sisi Yesus yang begitu kontras karakternya: yang satu, di
tengah-tengah penderitaannya sendiri, masih mau ikut arus dengan mengolok-olok
sang Penebus, sementara yang satu, sempat bertobat dan mendapat janji
keselamatan di akhirat bersama Yesus. Last but not least, ada kepala pasukan
Romawi yang setelah menyaksikan tanda-tanda alam yang dahsyat yang mengiringi
kematian Yesus menyatakan kepercayaannya, bahwa Ia adalah Anak Allah.
Sedikitnya orang-orang dekat Yesus yang hadir
di kaki salib, di saat-saat kritis ketika Sang Penebus meregang nyawanya, juga
dapat merefleksikan bagaimana situasi-situasi kritis merupakan saat-saat yang
tepat untuk menguji kekuatan dan kesungguhan mental orang-orang yang terlibat
dalam gerakan-gerakan pembebasan.
Yang ada di kaki salib hanyalah Yohanes, murid
Yesus yang paling muda, dan lima orang perempuan. Lima orang itu adalah Maria
ibunda Yesus, yang secara psikologis ikut disalibkan melihat buah tubuhnya
sendiri meninggal secara sangat menderita di depan mata kepalanya sendiri,
Maria isteri Klopas, saudara ibuNya, Maria Magdalena, bekas pelacur yang
bertobat, setelah nyawanya diselamatkan oleh Yesus dari massa munafik yang
ingin main hakim sendiri, Maria ibu Yakobus dan Yohanes, serta Salome.
Hadirnya kelima orang yang telah mengikuti
Yesus dari Galilea, merefleksikan kesetiaan perempuan dalam banyak gerakan
pembebasan, di saat-saat genting sekalipun. Sebaliknya, Simon Petrus, pemimpin
keduabelas rasul, tidak disinggung keberadaannya di Bukit Golgota oleh keempat
penulis Injil. Petrus sebelumnya sudah tiga kali menyangkal bahwa ia mengenal
Yesus sebelum ayam jago berkokok tiga kali. Hal ini juga menunjukkan bagaimana
banyak pemimpin gerakan-gerakan pembebasan sering lari di saat-saat genting.
Begitulah sekelumit pemikiran seorang awam
yang bukan teolog, tapi memerlukan terang Injil dalam pergelutan sehari-hari
dalam gejolak politik di luar pagar dan dinding gereja. Semoga ada manfaatnya
bagi mereka yang karena panggilan atau profesinya, harus menunjukkan
keteladanan Kristiani dari mimbar gereja.
Af.Wensi
Comments
Post a Comment